Rabu, 03 Maret 2010

Bunda Jangan Pulang...

Pagi itu kami temui bocah bocah di SD Min Lhoong. untuk mengucap selamat jalan. Lalu kami minta mereka berSelawat, dua, tiga kali lalu berTakbir dan berfoto disekolah darurat mereka, didepan tenda tenda pengungsi, berwarna biru dan putih.

'Bunda jangan pulang, bunda janji kembali lagi ya', mereka melepas kami, merengkuh tangan kami lalu disentuhkan kekening mereka, tanda takzim. Lalu mereka berjanji untuk giat belajar, tidak akan nakal, santun dan menggosok giginya sebelum tidur.

Wajah wajah hanief dan sholeh menyembul dibalik lilitan jilbab berenda. Yang putih bermata hijau konon ada percikan darah Purtugis, yang kelam turunan Tamil, beberapa nampak seperti Yamani atau Pakistan dan India atau yang murni, tentu Melayu, lembut dan santun. Itulah anak anak Aceh.


***


Dengan berat hati dan perasaan nekad, kami tinggalkan Lhoong kami harus ke Banda Aceh, sore itu juga, malam itu juga.

Kami berharap ada helikopter berkenan menerbangkan kami ke Banda. Yang pertama adalah tentara Jerman yang salah mendarat, salah lokasi dikira Lokhsmawe...ternyata Lhoong.Kami tak terangkut.Kami sabar.

Banyak Heli menderu, lalu lalang tapi mereka cuma lewat. Tiba tiba heli lain nampak rendah..oh bahkan dia turun menukik, membuat hati berbunga penuh harap. Heli bermotif belang loreng hijau coklat seragam Tentara. Saat mendarat kami yang duduk terpental pental oleh kencangnya putaran baling baling dan kincir. Nampak wajah kuning bermata sipit turun membongkok menurunkan puluhan doos berisi panci dan kuali aluminium, tentu buat pengungsi. Ditimbun dan disusun.

Kami dekati...mereka tentara Jepang atau Nipon. Ada bulatan merah, bendera mini Jepang dilengannya. Merekapun berseragam tentara, loreng hijau coklat dan hitam.

Sang kincir terhenti, pengungsi mengunjal dan mengangkutnya ke gudang Lalu kamipun mencoba meminta kalau kalau bisa angkut kami ke Banda. 'No' sambil geleng geleng kepala.Kami ditolak lagi. Aku sebel dan kecewa.

Sang co-pilot sibuk mengeker sana sini, jepret sana dan sini. Mungkin terperangah penuh pesona dengan cantiknya bukit bukit Lhoong Dibanding dengan negerinya yang super sempit dan klastrofobia.


***


Ke kedai kopi...

Sambil bingung penuh harap kami duduk kembali dikedai kopi. 'Ibu..minta kopi dua ya' pintaku. 'tubruk atau saring? tanya si ibu. 'Saring bu...' kataku. Sang ibu menyiduk sang bubuk ke kuali kecil lalu disiram, direbus dan disaring berkali kali, baru dituang ke gelas.

Aneh. Kali ini aku tak bisa menikmati kopi Aceh yang masyhur sedap. Benakku gusar ingin balik ke Bandara sore itu dan harus malam itu.

'Teteh jangan pulang malam ini, ombak tinggi, anginnya kencang. lewat darat sama bahaya, lewat bukit dan gunung, nanti tinggal nama'. Aku tetap menggeleng kepala dan meyakinkan tidak apa apa.

Bang Nash, adik pak Camat terpaksa mencari sopir spit untuk mengayuh sang perahu ke Bandara sore itu.Kamipun beranjak ke kepelabuhan...

Menyeberang ...

Baju pelampung warna oranye terang kami kenakan, speedboat putih tak beratap kami naiki, tiga duduk didepan, tiga ditengah dan tiga dibelakang, satu kapitan dan asisten paling belakang.

Semburat jingga senja, kekuningan memantul kelaut. Maghrib diambang. Dari beberapa pohon nyiur yang tersisa ingin berceloteh, berteriak padaku, ' Kamilah yang tersisa, yang tegar dan mampu membendung Tsunami..teteh! ' Aku menyaksikan semuanya, tanyalah kami !'. Aku mengangguk setuju.

Tentu kalau mereka mampu bicara, merekapun akan berlomba bertutur padaku. Diantara mereka ada satu yang miring dan merunduk sendu..sang pokok dan daunnya hampir terjurai kelaut.

Atau puing puing dermaga, jembatan beton, kawat, pipa besi, kayu, bambu, akar dan pokok yang tumbang terjungkal, lembar dan gulungan seng berkarat terhempas angin. Mereka tak ada daya, tak mampu melindungi pemiliknya mereka roboh oleh keKekariman Allah. Kuyakin mereka menangis, ingin bercerita sebagai saksi nyata tentang Tsunami yang dahsyat dan beringas.

Aku menoleh kebelakang...uhhh pilu hatiku, rata... tak tersisa, bongkah tanah menganga. Sungguh gundah. Lalu aku menenggak keatas bukit...hatiku tambah luluh, anak anak yang kutinggal, anak anak yang ratusan dari balita hingga remaja, menanti dan menggantung harapan pada kita kita. Kalau tidak mereka jadi ajang kejaran dan lahan pemurtadan.

Teriak dan pesan mereka tetap terekam dan kubawa pulang :'Bunda jangan pulang...bunda kembali lagi ya' lalu mereka melambaikan tangannya. Pantulan mata mereka meninggalkan banyak pesan dan makna.

Aku terhenyak. Motor perahu spit meraung, asap solar merebak, perahu melaju. Lhoong kami tinggalkan dengan penggalan kenangan mengiris namun manis.

Mentari senja kini menyelinap dibalik awan, masuk peraduan, kini tergantikan oleh rona rembulan - membututi kami. Kami terus meluncur dibawah terangnya si molek rembulan.


***


Perjalanan ini terlalu nekad dan penuh petualangan memang. Detik dan menit kuhitung - aku menunduk dan terdiam sambil menahan percikan keras bulir bulir air laut, kadang curahan hujan. Aku merunduk diam sambil berbisik dengan wiridan...

Ya Allah sebrangkan kami dengan kebesaranMu...

Tiba tiba sang motor terhenti, perahu berputar ditiup angin dan ombak Kami saling memandang dan tersenyum dikegelapan dan menghibur diri ' Bentar lagi kita nyampe di Lok Nga Ummi' kata bang Nash, huh hatipun merekah bahagia dan lega.

Sang sopir meraba dan menduga tepian pantai Lok Nga. Gelap pekat memang. Sesekali kami lihat dari kejauhan gundukan hitam lewat, entah flipper, kayu hanyut entah sang mayat....aku tetap terdiam. Sang mesin mulai melaju lagi..

Dari jauh tampak sebuah gedung dengan terangnya yang ribuan watt, 'Itu kapal Induk Perancis' kata mereka. 'Yang Amerika sudah pulang'. Betapa megahnya. Aku diam saja mendengarkan.

'Ahhh ini Lok Nga !', hati kami terasa lega. Kendati ini bukan pelabuhan sang perahu merapat ketepian lalu menambatkan tali pada kayu pepohonan kering yang ada. Kamipun loncat bersama ransel kami lalu mendaki bukit berpasir. Saat kami berada diatas....subhanallah sepertinya kami berada di padang pasir. Rata, gelap penuh puing puing besi, pipa dan pepohonan yang tumbang terjungkal malang dan melintang.

Lama kami menanti di pos TNI. Tak lama kijang bak menjemput kami...Saat kami tiba di pemondokan..Iin menyambut dan memelukku erat. 'Ya Allah teteh kau masih hidup...tiga hari kami mencarimu, tiga hari kau menghilang, kau balik, alhamdulillah'.

Sementara sayup lamat pesan mereka kerap dan tetap terngiang, 'Bunda jangan pulang, bunda janji kembali lagi ya..'

Banda Aceh, 17 Februari 2005


sumber : milis DT



Tidak ada komentar: